Punggahan

Sebentar lagi Ramadhan akan tiba. Ingatan saya kembali ke beberapa tahun silam saat saya masih SD dan tinggal di perkebunan di Gohor Lama, dua jam perjalanan dari Medan, Sumut. Sesuai tradisi setempat, pada malam pertama Ramadhan, sholat tarawih belum dilakukan. Ini berbeda dengan tradisi yang umum berlaku di mana sholat tarawih langsung dilakukan pada malam pertama Ramadhan.

Di lingkungan perkebunan, malam pertama ini disebut punggahan. Pada sebagian daerah disebut dengan munggah. Satu hari menjelang puasa biasanya terlihat orang berseliweran membawa rantang untuk disampaikan kepada orangtua atau orang yang dituakan.

Secara bahasa munggah artinya naik. Barangkali karena memasuki Ramadhan, jiwa kita akan naik derajatnya menjadi lebih baik dan lebih bertakwa.

Pada malam punggahan ini, kaum bapak dan anak laki-laki berkumpul di mushola kecil yang ada di kompleks karyawan perkebunan. Isi muhola tidak terlalu banyak, sekitar 50 orang. Setiap orang membawa rantang berisi nasi dan lauk pauk. Ada yang membawa rendang, semur ayam, telur balado, sayur buncis tumis, bihun, urap, dsb. Bahkan ada yang membawa ikan asin goreng.

Nantinya, semua makanan ini dibuka dan dimakan secara berjamaah. Idealnya, setiap orang akan memakan bawaan orang lain.

Bagi kami anak-anak perkebunan yang gragas, acara ini sangat dinanti-nanti. Meskipun di rumah ibu kami masing-masing sudah memasak makanan istimewa untuk menyambut Ramadhan, sensasi banyaknya variasi makanan dalam satu tempat sangat menggoda kami.

Sebelum acara makan dimulai, terlebih dulu dilakukan sholat Isya. Tak jarang, sepanjang sholat, mata anak-anak sering melirik ke makanan yang ditumpuk di pojok mushola.

Setelah sholat Isya usai, acarapun dimulai. Pak Ustadz memimpin acara ini dengan membacakan doa yang diamini bersama. Setelah itu niat puasa dibaca, Nawaitu shauma ghodin, dst….

Dan eng ing eng….Saat yang ditunggu-tunggupun dimulai. Makanan dibuka dari rantang dan diputar secara acak sehingga semua yang hadir kebagian makanan. Berhubung tidak ada standarisasi, bisa kejadian di hadapan kita cuma rantang nasi dan ikan asin goreng. Untunglah, kebersamaan membuat semua orang ikhlas membagikan lauknya yang enak kepada teman-temannya. Rasanya tidak ada yang tidak kebagian makanan.

Peristiwa semacam ini berlangsung bertahun-tahun, sehingga aku mengira tradisi seperti inilah yang juga berlaku di tempat lain. Saat akhirnya aku bersekolah di Medan baru aku sadar bahwa tradisi tersebut hanya khas di perkebunan yang banyak dihuni oleh mayoritas pendatang dari Jawa (warisan kuli kontrak zaman Belanda).

Adapun di kota besar seperti Medan, malam pertama Ramadhan langsung diisi dengan sholat tarawih. Sekarang, menjelang Ramadhan ini aku merindukan kembali saat-saat seperti punggahan di mushola kecil kami di perkebunan. Bukan makanannya yang penting, tapi kebersamaan. Sambil makan, obrolan-obrolan lucu sering muncul hingga menambah nikmat acara bersantap.

Akhirul kalam, dalam postingan ini saya mengucapkan “Selamat Berpuasa. Semoga kita dimunggahkan oleh Allah menjadi orang yang bertakwa.”

8 tanggapan untuk “Punggahan

  1. Ini kalo bahasa modernnya adalah … Cross Rantang … (sebagai pengganti Cross Kado kali ya )

    Eniwei …
    Abang … dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf lahir bathin …

    Mari kita sambut bulan penuh berkah ini dengan gembira

    Salam saya

  2. Wah saya bisa bayangkan acara punggahan seperti Pot Luck itu…. pasti akrab sekali ya bang. Mungkin bisa dicoba dimulai lagi di kalangan saudara bang….
    Saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bang…

    EM

  3. aih, baru tahu nih ada tradisi semacam ini. kayaknya bagus juga untuk dilestarikan… 😀

    aku juga mohon maaf ya bro, semoga kita dapat menjalan puasa kali ini dengan lebih baik lagi dan dapat “munggah kelas” imannya, hehe… 😀

  4. Adat tsb masih dilakukan di kampungku, kalau dulu masing-masing keluarga saling mengirim rantang dan mengundang slametan, sejak akhir tujuhpuluhan di koordinir pak RT, jadi hanya setor 4 rantang tiap keluarga. Dan saat slametan, maka saling bertukar berkat dan yang kurang punya tetap mendapat berkat (nasi dan teman2 nya dalam besek). Dan yang harus ada adalah “apem”.. nama punggahan ini didusunku disebut “megengan”

  5. Kalau di Yogya, dulu ada tradisi membuat dan saling mengantar makanan berwujud ketan, kolak dan apem. Saya pernah membaca, makanan-makanan itu dipilih karena namanya di’terjemah’kan dari beberapa istilah dalam agama, seperti ‘apem’ itu berasal dari kata ‘afuwun’ (untuk yang ketan dan kolak saya lupa, berasal dari kata apa). Tapi sekarang tradisi itu kayaknya sudah jarang dilakukan orang …

  6. Ooo….rantang silang kali ya….
    kalau di Joja…persis yang ditulis bu Tuti…
    sebetulnya budaya kita sarat makna,dan semua bertujuan untuk silaturahmi,kebersamaan…Sangat Indah

  7. Saya penasaran, jangan2 tradisi tajammu ala pondok dahulu merupakan warisan dari para buruh tani ya? Makan bersama di atas koran, menjamah nasi berikut lauk pauk sederhana, ah, saya bisa membayangkan lirikan nakal bocah2 tadi ke nampan nasi itu. Akhirnya, meski sangat terlambat, saya ucapkan selamat ibadah puasa, mohon maaf lahir batin.

    Sukses selalu bang Hery!

Tinggalkan komentar